VoyForums
[ Show ]
Support VoyForums
[ Shrink ]
VoyForums Announcement: Programming and providing support for this service has been a labor of love since 1997. We are one of the few services online who values our users' privacy, and have never sold your information. We have even fought hard to defend your privacy in legal cases; however, we've done it with almost no financial support -- paying out of pocket to continue providing the service. Due to the issues imposed on us by advertisers, we also stopped hosting most ads on the forums many years ago. We hope you appreciate our efforts.

Show your support by donating any amount. (Note: We are still technically a for-profit company, so your contribution is not tax-deductible.) PayPal Acct: Feedback:

Donate to VoyForums (PayPal):

Login ] [ Contact Forum Admin ] [ Main index ] [ Post a new message ] [ Search | Check update time | Archives: 1[2]34 ]
Subject: The Public Enemy Number One


Author:
The Executive
[ Next Thread | Previous Thread | Next Message | Previous Message ]
Date Posted: 01:21:46 05/09/03 Fri

Kini saatnya Intelektual angkat bicara :

Denny JA: "Kasus Rhoma Irama versus Inul membuat kita sadar. Betapa
reformasi mampu membuat publik bebas mengungkapkan semua jenis ekspresinya.
Pihak yang merasa berdiri pada hierarki yang lebih tinggi dalam soal selera
dan moral, apalagi jika pihak itu mengesankan sangat berkuasa dengan
"melarang" pihak lain yang dianggap "lebih rendah", segera ia menjadi the
public enemy number one. Suka atau tidak, inilah realitas yang ada".

========

Rhoma Irama Versus Inul

Denny JA

Tidak diduga, kasus "pertengkaran" Rhoma Irama versus Inul meluas. Tak hanya
komunitas musik dangdut atau kesenian yang membahasnya. Kini kalangan LSM,
intelektual bahkan politisi angkat bicara. "Pertengkaran" Rhoma Irama versus
Inul menjadi perdebatan dua segmen komunitas yang semakin saling tidak
menyukai. Mengelaborasi pertengkaran dua "raja dan ratu" ini, membuat kita
lebih paham sentimen dan atmosfer kesadaran kultural publik luas era
reformasi.
Rhoma Irama mewakili komunitas yang merasa berada dalam hierarki high
culture. Dalam soal kebudayaan, kesenian, khususnya musik dangdut, Rhoma
Irama dan pendukungnya mengidentifikasikan diri mewakili kalangan "priyayi".
Ia sangat tahu mana seni yang tinggi dan mana seni yang murahan. Lalu "yang
tinggi" berhak menegur dan marah kepada "yang murahan".
Rhoma merasa berjasa sudah mengangkut kualitas dangdut dari musik selera
rendah. Ia sudah memadukan lirik dan atmosfer musik rock seperti Deep Purple
ataupun Led Zeppelin ke dalam dangdut. Setelah Rhoma Irama, dangdut
dimainkan pula oleh artis kelas tinggi. Tak hanya di pinggir jalan, dangdut
bahkan sudah masuk ke TV, kafe, bahkan Istana Negara.
Inul dianggap kembali menjatuhkan wibawa musik dangdut ke tingkat yang
rendah. Gara-gara Inul, mereka yang menikmati dangdut ini tak lagi
benar-benar peduli dengan kualitas musiknya, tetapi goyangan ngebor. Menurut
pendukung Rhoma Irama, setelah datangnya Inul, yang populer kini di kalangan
TV dan publik luas adalah "goyangan pinggul", bukan lagi musiknya.
Rhoma Irama pun merasa mewakili komunitas dengan selera moral dan kesantunan
yang tinggi. Ia merasa tahu betul apa yang pantas dan tak pantas, dan apa
yang harus dipuji dan dilarang. Musik dangdutnya sudah ia angkat fungsinya
tak hanya sebagai musik dangdut belaka, tetapi juga punya misi berdakwah.
Ajaran agama ia selipkan dalam bait-bait syair dangdut.
Inul dianggap menurunkan kembali kualitas musik dangdut. Melalui Inul,
dangdut bukan saja tidak lagi mengandung misi dakwah. Sebaliknya, kalangan
itu menganggap sensualitas rendahan ikut disebarkan Inul. Tanpa penelitian,
langsung saja dibuat tuduhan, goyangan Inul dapat menyebabkan meningkatnya
perkosaan.
Sebaliknya, Inul dan pendukungnya mewakili segmen komunitas yang lain sama
sekali. Bagi mereka, tak ada seni tinggi dan seni rendah. Rhoma Irama pun
tidak mewakili seni tinggi dan berkualitas. Banyak yang me-nyukai musik
Rhoma Irama, namun banyak pula yang tidak menyukainya. Hal yang sama terjadi
pada musik dan goyangan Inul.
Sebagaimana soal gagasan dan kepentingan, komunitas juga punya selera yang
beragam. Semua selera musik dan goyangan punya derajat yang sama, dan hak
yang sama untuk tumbuh. Yang ada hanyalah tontonan yang disukai dan tidak
disukai. Inul sudah membuktikan diri sebagai tontonan yang disukai. Teguran
Rhoma Irama atas Inul dianggap hanyalah cerminan kepongahan dan arogansi
raja dangdut yang sudah lewat masa jayanya, dan digeser oleh popularitas
Inul.
Lebih jauh lagi komunitas Inul menolak hierarki moral dan kesantunan. Siapa
yang bilang musik Rhoma Irama dan pentas panggungnya lebih santun dan lebih
bermoral daripada Inul? Pasar punya ukurannya sendiri. Sejauh tidak
melanggar hukum, semua atraksi panggung sah-sah saja. Biarkan konsumen yang
menilainya. Harus ada liberalisasi dalam pertunjukan seni yang memisahkannya
dengan segala ukuran moral dan kesantunan.
Pendukung
Rhoma Irama dan pendukungnya mungkin cukup kaget. Mereka tak menyangka Inul
mendapatkan simpati dan dukungan luar biasa. Tak hanya para artis sinetron
dan penyanyi yang mengecam Rhoma Irama dan memuji Inul. Para intelektual,
bahkan tokoh politik secara tegas mendukung Inul untuk terus dengan goyangan
ngebornya. Jika kita analisis pendukung Inul, ada tiga segmen dengan
motivasi yang beragam. Umumnya mereka bukanlah penggemar Inul. Mereka
mendukung Inul karena ada isu yang jauh lebih besar.
Pertama, era reformasi sudah membentuk kultur baru yang serba terbuka dan
sangat anti dengan dominasi. Sebagian publik yang mendukung Inul bukan
karena Inulnya, juga bukan karena Rhoma Iramanya. Rhoma Irama mewakili
otoritas yang terkesan ingin mendominasi ruang publik. Seolah hanya mereka
yang punya selera dan persepsi sama dengannya yang berhak muncul di ruang
publik.
Siapa pun yang berada dalam posisi Rhoma Irama akan dikecam. Sebaliknya,
siapa pun yang berada dalam posisi Inul akan dibela. Publik di era kebebasan
dan keberagaman seperti sekarang semakin "muak" dengan otoritas yang ingin
menyeragamkan atau mengesankan "berkuasa penuh".
Jangankan Rhoma Irama, bahkan negara adidaya seperti Amerika Serikat
sekalipun akan mendapatkan kecaman yang sama. Ketika AS sangat tahu apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan negara lain, apalagi kemudian menyerang
secara militer, dengan segera AS mendapat kecaman yang sama. Mereka yang
mengecam AS dan membela Irak, sebagaimana yang mengecam Rhoma Irama dan
membela Inul, mungkin juga tidak suka kepada yang dibela. Namun solidaritas
antidominasi ini sudah sedemikian mengakar. Rhoma Irama menjadi korbannya.
Dominasi Rhoma Irama terhadap Inul bisa banyak bentuknya. Dominasi itu bisa
berbentuk dominasi pihak yang merasa punya level spiritual lebih tinggi
kepada yang lebih rendah. Atau dominasi dari seniman yang sudah senior
terhadap pendatang baru yang lugu. Bahkan dapat pula berbentuk dominasi
laki-laki yang chauvinist yang ingin "melindungi syahwat wanita" terhadap
perempuan yang punya persepsinya sendiri.
Kedua, era reformasi juga membuat publik semakin lelah dengan jargon dan
semboyan yang menggunakan alasan "formalisme agama" atau moral. Bukan karena
publik tidak ingin bermoral. Namun untuk kasus Indonesia, sudah sedemikian
sering jargon moral dan agama dijadikan tameng kemunafikan. Alasan moral dan
agama untuk "menghentikan" Inul juga berbau kemunafikan yang sama.
Lihatlah negara Indonesia. Di negara ini, jargon keagamaannya luar biasa.
Tetapi semua tahu, Indonesia termasuk negara paling korup di dunia. Lihatlah
betapa sering dikumandangkan di sekolah agama ataupun di rumah ibadah, bahwa
kebersihan adalah bagian dari iman. Namun lihat juga apa yang terjadi dengan
Ciliwung, misalnya. Sungai itu menjadi salah satu sungai terkotor dan bak
sampah terpanjang di dunia.
Lihat pula apa yang terjadi dengan aksi massa yang begitu sering menggunakan
slogan moral dan agama. Banyak yang tahu, betapa di balik aksi itu bermain
politik uang. Agama sudah ditunggangi sedemikian rupa untuk menutupi sesuatu
yang kini semakin terang-benderang, yaitu kemunafikan yang luar biasa.
Rhoma Irama juga menjadi korban sentimen publik yang sudah "muak" terhadap
segala alasan moral atau agama di ruang publik. Apa benar yang menegur
(Rhoma Irama) secara moral posisinya lebih bersih daripada yang ditegur
(Inul)? Apa benar dalam soal substansi agama, yang memarahi (Rhoma Irama)
lebih tulus ketimbang yang dimarahi (Inul)? Kelelahan publik atas meluasnya
kemunafikan di Tanah Air, membuat teguran moral dan agama Rhoma Irama justru
ditanggapi secara sinis.
Ketiga, era reformasi belum lama. Publik sangat sensitif dengan posisi kaum
yang tertindas. Siapa pun yang tertindas, apalagi jika ia terkesan tak
berdaya dan menerima nasibnya, justru semakin dicintai dan didukung publik.
Sebelum ia tertindas, publik mungkin tidak memperhatikan apalagi
mendukungnya. Namun setelah ada kasus penindasan, dukungan datang
bertubi-tubi.
Ini juga dialami oleh Megawati dan PDI. Di era Soeharto, betapa publik
melihat tokoh dan partai ini ditindas. Melalui operasi kilat, Megawati
dipaksa turun dari kekuasaannya di partai. Melalui operasi yang juga
rahasia, kantor resmi PDI juga direbut. Tetapi itu semua justru melahirkan
simpati. Ketika pemilu bebas dilaksanakan untuk pertama kali setelah Orde
Baru, suara simpati itu akhirnya membuat PDI-P menjadi partai terbesar. Di
samping mendapatkan suara dari publiknya, banyak pula suara untuk Megawati
datang dari aksi simpati.
Inul pun mengalami "berkah" yang sama. Karena ditegur dan dikuliahi Rhoma
Irama, Inul terkesan menjadi pihak yang ditindas dan tak berdaya. Di TV
diperlihatkan betapa "berkuasanya" Rhoma Irama. Sementara Inul hanya terdiam
dengan mata yang sembab karena menangis. Adegan itu dengan sendirinya
memancing kemarahan kepada Rhoma Irama dan mengundang simpati yang luas
kepada Inul. Akibat adegan itu, di berbagai daerah dukungan buat Inul
membesar.
Kasus Rhoma Irama versus Inul membuat kita sadar. Betapa reformasi mampu
membuat publik bebas mengungkapkan semua jenis ekspresinya. Pihak yang
merasa berdiri pada hierarki yang lebih tinggi dalam soal selera dan moral,
apalagi jika pihak itu mengesankan sangat berkuasa dengan "melarang" pihak
lain yang dianggap "lebih rendah", segera ia menjadi the public enemy number
one. Suka atau tidak, inilah realitas yang ada.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Yayasan Universitas dan Akademi Jayabaya.

[ Next Thread | Previous Thread | Next Message | Previous Message ]

Replies:
Subject Author Date
Re: The Public Enemy Number OneAndy Malarangeng04:59:26 05/26/03 Mon


[ Contact Forum Admin ]


Forum timezone: GMT-8
VF Version: 3.00b, ConfDB:
Before posting please read our privacy policy.
VoyForums(tm) is a Free Service from Voyager Info-Systems.
Copyright © 1998-2019 Voyager Info-Systems. All Rights Reserved.