Show your support by donating any amount. (Note: We are still technically a for-profit company, so your contribution is not tax-deductible.) PayPal Acct: Feedback:
Donate to VoyForums (PayPal):
[ Login ] [ Contact Forum Admin ] [ Main index ] [ Post a new message ] [ Search | Check update time | Archives: 1, [2], 3, 4 ] |
Subject: The Public Enemy Number One | |
Author: The Executive |
[
Next Thread |
Previous Thread |
Next Message |
Previous Message
]
Date Posted: 01:21:46 05/09/03 Fri Kini saatnya Intelektual angkat bicara : Denny JA: "Kasus Rhoma Irama versus Inul membuat kita sadar. Betapa reformasi mampu membuat publik bebas mengungkapkan semua jenis ekspresinya. Pihak yang merasa berdiri pada hierarki yang lebih tinggi dalam soal selera dan moral, apalagi jika pihak itu mengesankan sangat berkuasa dengan "melarang" pihak lain yang dianggap "lebih rendah", segera ia menjadi the public enemy number one. Suka atau tidak, inilah realitas yang ada". ======== Rhoma Irama Versus Inul Denny JA Tidak diduga, kasus "pertengkaran" Rhoma Irama versus Inul meluas. Tak hanya komunitas musik dangdut atau kesenian yang membahasnya. Kini kalangan LSM, intelektual bahkan politisi angkat bicara. "Pertengkaran" Rhoma Irama versus Inul menjadi perdebatan dua segmen komunitas yang semakin saling tidak menyukai. Mengelaborasi pertengkaran dua "raja dan ratu" ini, membuat kita lebih paham sentimen dan atmosfer kesadaran kultural publik luas era reformasi. Rhoma Irama mewakili komunitas yang merasa berada dalam hierarki high culture. Dalam soal kebudayaan, kesenian, khususnya musik dangdut, Rhoma Irama dan pendukungnya mengidentifikasikan diri mewakili kalangan "priyayi". Ia sangat tahu mana seni yang tinggi dan mana seni yang murahan. Lalu "yang tinggi" berhak menegur dan marah kepada "yang murahan". Rhoma merasa berjasa sudah mengangkut kualitas dangdut dari musik selera rendah. Ia sudah memadukan lirik dan atmosfer musik rock seperti Deep Purple ataupun Led Zeppelin ke dalam dangdut. Setelah Rhoma Irama, dangdut dimainkan pula oleh artis kelas tinggi. Tak hanya di pinggir jalan, dangdut bahkan sudah masuk ke TV, kafe, bahkan Istana Negara. Inul dianggap kembali menjatuhkan wibawa musik dangdut ke tingkat yang rendah. Gara-gara Inul, mereka yang menikmati dangdut ini tak lagi benar-benar peduli dengan kualitas musiknya, tetapi goyangan ngebor. Menurut pendukung Rhoma Irama, setelah datangnya Inul, yang populer kini di kalangan TV dan publik luas adalah "goyangan pinggul", bukan lagi musiknya. Rhoma Irama pun merasa mewakili komunitas dengan selera moral dan kesantunan yang tinggi. Ia merasa tahu betul apa yang pantas dan tak pantas, dan apa yang harus dipuji dan dilarang. Musik dangdutnya sudah ia angkat fungsinya tak hanya sebagai musik dangdut belaka, tetapi juga punya misi berdakwah. Ajaran agama ia selipkan dalam bait-bait syair dangdut. Inul dianggap menurunkan kembali kualitas musik dangdut. Melalui Inul, dangdut bukan saja tidak lagi mengandung misi dakwah. Sebaliknya, kalangan itu menganggap sensualitas rendahan ikut disebarkan Inul. Tanpa penelitian, langsung saja dibuat tuduhan, goyangan Inul dapat menyebabkan meningkatnya perkosaan. Sebaliknya, Inul dan pendukungnya mewakili segmen komunitas yang lain sama sekali. Bagi mereka, tak ada seni tinggi dan seni rendah. Rhoma Irama pun tidak mewakili seni tinggi dan berkualitas. Banyak yang me-nyukai musik Rhoma Irama, namun banyak pula yang tidak menyukainya. Hal yang sama terjadi pada musik dan goyangan Inul. Sebagaimana soal gagasan dan kepentingan, komunitas juga punya selera yang beragam. Semua selera musik dan goyangan punya derajat yang sama, dan hak yang sama untuk tumbuh. Yang ada hanyalah tontonan yang disukai dan tidak disukai. Inul sudah membuktikan diri sebagai tontonan yang disukai. Teguran Rhoma Irama atas Inul dianggap hanyalah cerminan kepongahan dan arogansi raja dangdut yang sudah lewat masa jayanya, dan digeser oleh popularitas Inul. Lebih jauh lagi komunitas Inul menolak hierarki moral dan kesantunan. Siapa yang bilang musik Rhoma Irama dan pentas panggungnya lebih santun dan lebih bermoral daripada Inul? Pasar punya ukurannya sendiri. Sejauh tidak melanggar hukum, semua atraksi panggung sah-sah saja. Biarkan konsumen yang menilainya. Harus ada liberalisasi dalam pertunjukan seni yang memisahkannya dengan segala ukuran moral dan kesantunan. Pendukung Rhoma Irama dan pendukungnya mungkin cukup kaget. Mereka tak menyangka Inul mendapatkan simpati dan dukungan luar biasa. Tak hanya para artis sinetron dan penyanyi yang mengecam Rhoma Irama dan memuji Inul. Para intelektual, bahkan tokoh politik secara tegas mendukung Inul untuk terus dengan goyangan ngebornya. Jika kita analisis pendukung Inul, ada tiga segmen dengan motivasi yang beragam. Umumnya mereka bukanlah penggemar Inul. Mereka mendukung Inul karena ada isu yang jauh lebih besar. Pertama, era reformasi sudah membentuk kultur baru yang serba terbuka dan sangat anti dengan dominasi. Sebagian publik yang mendukung Inul bukan karena Inulnya, juga bukan karena Rhoma Iramanya. Rhoma Irama mewakili otoritas yang terkesan ingin mendominasi ruang publik. Seolah hanya mereka yang punya selera dan persepsi sama dengannya yang berhak muncul di ruang publik. Siapa pun yang berada dalam posisi Rhoma Irama akan dikecam. Sebaliknya, siapa pun yang berada dalam posisi Inul akan dibela. Publik di era kebebasan dan keberagaman seperti sekarang semakin "muak" dengan otoritas yang ingin menyeragamkan atau mengesankan "berkuasa penuh". Jangankan Rhoma Irama, bahkan negara adidaya seperti Amerika Serikat sekalipun akan mendapatkan kecaman yang sama. Ketika AS sangat tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan negara lain, apalagi kemudian menyerang secara militer, dengan segera AS mendapat kecaman yang sama. Mereka yang mengecam AS dan membela Irak, sebagaimana yang mengecam Rhoma Irama dan membela Inul, mungkin juga tidak suka kepada yang dibela. Namun solidaritas antidominasi ini sudah sedemikian mengakar. Rhoma Irama menjadi korbannya. Dominasi Rhoma Irama terhadap Inul bisa banyak bentuknya. Dominasi itu bisa berbentuk dominasi pihak yang merasa punya level spiritual lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Atau dominasi dari seniman yang sudah senior terhadap pendatang baru yang lugu. Bahkan dapat pula berbentuk dominasi laki-laki yang chauvinist yang ingin "melindungi syahwat wanita" terhadap perempuan yang punya persepsinya sendiri. Kedua, era reformasi juga membuat publik semakin lelah dengan jargon dan semboyan yang menggunakan alasan "formalisme agama" atau moral. Bukan karena publik tidak ingin bermoral. Namun untuk kasus Indonesia, sudah sedemikian sering jargon moral dan agama dijadikan tameng kemunafikan. Alasan moral dan agama untuk "menghentikan" Inul juga berbau kemunafikan yang sama. Lihatlah negara Indonesia. Di negara ini, jargon keagamaannya luar biasa. Tetapi semua tahu, Indonesia termasuk negara paling korup di dunia. Lihatlah betapa sering dikumandangkan di sekolah agama ataupun di rumah ibadah, bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Namun lihat juga apa yang terjadi dengan Ciliwung, misalnya. Sungai itu menjadi salah satu sungai terkotor dan bak sampah terpanjang di dunia. Lihat pula apa yang terjadi dengan aksi massa yang begitu sering menggunakan slogan moral dan agama. Banyak yang tahu, betapa di balik aksi itu bermain politik uang. Agama sudah ditunggangi sedemikian rupa untuk menutupi sesuatu yang kini semakin terang-benderang, yaitu kemunafikan yang luar biasa. Rhoma Irama juga menjadi korban sentimen publik yang sudah "muak" terhadap segala alasan moral atau agama di ruang publik. Apa benar yang menegur (Rhoma Irama) secara moral posisinya lebih bersih daripada yang ditegur (Inul)? Apa benar dalam soal substansi agama, yang memarahi (Rhoma Irama) lebih tulus ketimbang yang dimarahi (Inul)? Kelelahan publik atas meluasnya kemunafikan di Tanah Air, membuat teguran moral dan agama Rhoma Irama justru ditanggapi secara sinis. Ketiga, era reformasi belum lama. Publik sangat sensitif dengan posisi kaum yang tertindas. Siapa pun yang tertindas, apalagi jika ia terkesan tak berdaya dan menerima nasibnya, justru semakin dicintai dan didukung publik. Sebelum ia tertindas, publik mungkin tidak memperhatikan apalagi mendukungnya. Namun setelah ada kasus penindasan, dukungan datang bertubi-tubi. Ini juga dialami oleh Megawati dan PDI. Di era Soeharto, betapa publik melihat tokoh dan partai ini ditindas. Melalui operasi kilat, Megawati dipaksa turun dari kekuasaannya di partai. Melalui operasi yang juga rahasia, kantor resmi PDI juga direbut. Tetapi itu semua justru melahirkan simpati. Ketika pemilu bebas dilaksanakan untuk pertama kali setelah Orde Baru, suara simpati itu akhirnya membuat PDI-P menjadi partai terbesar. Di samping mendapatkan suara dari publiknya, banyak pula suara untuk Megawati datang dari aksi simpati. Inul pun mengalami "berkah" yang sama. Karena ditegur dan dikuliahi Rhoma Irama, Inul terkesan menjadi pihak yang ditindas dan tak berdaya. Di TV diperlihatkan betapa "berkuasanya" Rhoma Irama. Sementara Inul hanya terdiam dengan mata yang sembab karena menangis. Adegan itu dengan sendirinya memancing kemarahan kepada Rhoma Irama dan mengundang simpati yang luas kepada Inul. Akibat adegan itu, di berbagai daerah dukungan buat Inul membesar. Kasus Rhoma Irama versus Inul membuat kita sadar. Betapa reformasi mampu membuat publik bebas mengungkapkan semua jenis ekspresinya. Pihak yang merasa berdiri pada hierarki yang lebih tinggi dalam soal selera dan moral, apalagi jika pihak itu mengesankan sangat berkuasa dengan "melarang" pihak lain yang dianggap "lebih rendah", segera ia menjadi the public enemy number one. Suka atau tidak, inilah realitas yang ada. Penulis adalah Direktur Eksekutif Yayasan Universitas dan Akademi Jayabaya. [ Next Thread | Previous Thread | Next Message | Previous Message ] |
Subject | Author | Date |
Re: The Public Enemy Number One | Andy Malarangeng | 04:59:26 05/26/03 Mon |
Forum timezone: GMT-8 VF Version: 3.00b, ConfDB: Before posting please read our privacy policy. VoyForums(tm) is a Free Service from Voyager Info-Systems. Copyright © 1998-2019 Voyager Info-Systems. All Rights Reserved. |